Jumat, 19 September 2014

Dua Dunia Satu Hati


                   Pagi itu seperti biasa aku membeli setangkai bunga matahari kesayangan perempuan itu. Sudah rutinitasku dalam setahun ini untuk memberikan dia bunga yang nyata, hanya saja dia yang tidak nyata. Aku menghentikan lamunanku karena aku sudah sampai di tempat yang selalu aku kunjungi saat pagi hari, Tempat Pemakaman Umum Bunda Asri. Disinilah perempuan itu tinggal. Langkah demi langkah, dan kini aku ada di depan sebuah nisan dengan nama “Keysha Al Aina Mardhiah”.
                  Perempuan ini dulunya hanya pasien di rumah sakit tempatku bekerja, tapi kini dia menjadi pujaan hatiku. Terlintas kembalilah ingatan akan masa laluku dengannya. Setiap kali selesai dengan jam praktek, aku selalu melihat dia di taman. Saat itu sudah malam sekali. Aku melihat dia menulis di sebuah balon terbang berwarna biru. Aku heran, umur dia mungkin sudah 17 tahun, tapi masih saja bermain dengan balon. Aku pun mendekatinya dan bertanya “kamu lagi ngapain?” ko sendirian? Sudah malam lagi” dia hanya fokus dengan catatannya di balon itu, dan dia menarikku, mengajakku berlari entah kemana. “cepet tulis sesuatu di balon ini!” kata perempuan itu, aku mengikuti apa yang dia suruh. “loh ko tulisannya gini? Ini sih bukan permintaan ! terus  jelek ! ga rapih lagi ! dokter aku saja tulisannya rapih” kata perempuan itu dengan nada yang judes. “emangnya kenapa ? kamu kan bilang aku cuman harus nulis sesuatu, yaudah aku tulis ‘aku ketemu anak balon di malam yang kosong ini’” “anak balon ? siapa ?” “ya kamu lah, kita ga sempat kenalan, yaudah aku manggil kamu anak balon” kataku sambil tertawa “iih ga cocok anak balon, yaudah aku manggil kamu dokter jahat”kata perempuan itu sambil cemberut “yaudah sekarang kita terbangin balon ini ya” pinta perempuan itu, aku hanya tersenyum dan mengikuti apa yang dia mau. Itulah saat-saat aku bertemu dengannya. Tiap hari kita selalu bertemu, melepaskan sebuah balon dengan banyak permintaan di tubuh balon itu. Aku selalu melihat perempuan itu pasti menulis “aku ingin sembuh”. Di malam berikutnya aku bertanya “kamu sakit apa ?” tanyaku yang langsung dengan initinya “aku ga sakit, aku cuman alergi siang. Alergi matahari. Kata dokter aku sakit ‘lupus’” aku hanya bisa terdiam saat dia bilang dia punya penyakit itu. “kata dokter aku bersahabat sama bulan dan bintang. Apa aku sudah mirip vampire ?” tanya dia dengan tertawa “hahaha, mungkin kamu anak vampire. Sama kaya anak balon. Terus kenapa kamu selalu sendiri ? ga punya teman ya ?” “Orang tuaku di rumah, kesian mereka harus nunggu aku setiap hari. Jadi aku mutusin deh buat sendirian di rumah sakit dan aku anak tunggal. aku memang ga punya teman, aku juga suka ngerasa sendirian,  tapi sekarang aku udah ga ngerasa sendirian lagi, kan ada dokter jahat” jawab dia dengan senyuman yang tulus terlukis di bibirnya. “aku juga sama, ibuku sudah meninggal. Meninggalnya di saat aku akan wisuda. Itu sangat menyakitkan. Kamu tau, aku selalu takut sendirian” “tapikan dokter punya banyak teman, banyak pasien. Kenapa masih ngerasa sendirian ?” tanya perempuan itu “kamu tau, di saat banyak orang di sekelilingku, aku selalu merasa sendiri. Dan entahlah kapan aku udah ga ngerasain sendirian lagi. Ah sudah malam, ayo aku antar kamu ke kamar kamu” jawabku dengan panjang lebar. Dia hanya tersenyum bahagia. Dia berlari-lari kecil di sepanjang lorong rumah sakit, dan akhirnya kita sampai di kamarnya “ayo masuk, aku punya coklat panas. Di luar sangat dingin” aku pun masuk ruangan itu dan melihat di sekitar ruangan “kamu bisa main biola ?” tanyaku “aku bisa, aku belajar biola saat umurku 7 tahun. Sudah 11 tahun aku belajar biola” jawab dia sambil menuangkan coklat panas di gelas yang lucu itu “jadi, kamu udah 18 tahun ? ko kaya anak kecil ?” tanyaku heran “anak kecil ? semua barang ini memang lucu, tapi aku punya sifat dewasa ko” jawab dia sambil cemberut. Diam-diam aku menyukai sifat dia yang unik itu.
                   Beberapa minggu ini aku tidak pernah melihat dia di taman itu. Aku pun menulis di balon, sama seperti hal-hal yang aku dan perempuan itu inginkan “aku ingin liat dia senyum lagi. Dan jika aku bisa melihat dia tersenyum, aku ingin bawa dia liat sunrise  walaupun sebentar” dan aku pun menerbangkan balon itu “loh dokter jahat ko disini ? waaahh balonnya terbang. Pak dokter nulis apa” tanya dia dengan senyumnya. Aku hanya tersenyum, dan hati ini rasanya senang sekali “kamu kemana aja ? ko ga keliatan ?” tanyaku dengan nada khawatir “ooh itu, aku refreshing. Aku di bolehin pulang ke rumah” “memangnya kamu ga boleh pulang sama dokter kamu ?” tanyaku lagi “boleh sih, tapi kata dokter sakitku ini udah menahun. Jadinya aku harus disini” jawab perempuan itu sambil menunjukan muka sedihnya “aah pasti sembuh ko. Oiya kamu mau ga aku ajak liat sunrise ??” ajakku dengan penuh harap, supaya dia mau menerima ajakanku “sunrise ? aku ingin liat. Tapi aku alergi sama matahari. Jadi ga bakal bisa liat. Kata orang-orang sunset dan sunrise itu indah. Tapi sayang aku ga bisa liat mereka. Aku cuman bisa liat bulan sama bintang. Tapi mereka juga indah ko. Apalagi kalau ada lampu warna-warni dimana-dimana”jawab dia dengan penuh semangat “aku bakal cobain segala cara supaya kamu bisa liat sunrise. Pokonya percaya aja sama aku” jawabku meyakinkan. Dia mengangguk senang. Malam harinya, waktu menunjukan pukul 00.00. aku dan perempuan itu pergi keluar dari rumah sakit. Menggunakan motorku, kita pergi ke semua tempat yang belum pernah di kunjungi perempuan itu. Satu demi satu tempat yang kita kunjungi, kini waktu sudah menunjukan pukul 05.00 . “gimana jalan-jalannya ? ayo kita ke rumah sakit. Udah jam 05.00 nih” “loh katanya mau ngajak liat sunrise?” kata perempuan itu dengan nada kecewa “kita liat sunrisenya di rumah sakit. Sama indahnya ko kaya di pantai atau pegunungan” kataku meyakinkan. Perempuan itu mengikutiku pulang ke rumah sakit. Tapi aku takut, takut matahari datang duluan sebelum kita sampai ke rumah sakit. “hei lihat, mataharinya datang”kata permpuan itu dengan nada gembira. Aku kaget melihat matahari yang sudah datang. Aku langsung mengencangkan motorku untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dia hanya tersenyum melihat sunrise. Aku tau kulit dia sensitif sama matahari, aku memayungkan dia dengan jaket yang aku pakai. Saat di kamarnya, dia menangis. Kulitnya melepuh. Aku pun segera memanggil dokter dan suster yang ada. Seketika aku merasa bersalah kepada perempuan itu. Aku khawatir dia kenapa-kenapa. Seseorang dari belakang menepuk pundakku “saya tau kamu hanya dokter anak. Tapi mungkin kamu juga bisa berpikirkan bagaimana orang yang terkena lupus terkena sinar matahari langsung ! seharusnya kamu berpikir lebih jauh dari ini!”. Aku hanya terdiam dan merasa diriku sangat bodoh. Tidak bisa menjaga seseorang yang aku sayang. Aku melihat dia di kaca. Semua badannya melepuh dan memerah. Aku hanya bisa berpikir ‘apa aku harus menjauhi dia, agar dia bisa sembuh total’
                    Beberapa akhir ini, aku sibuk. Mengurus anak-anak yang terkena sakit flu. Aku tidak ada waktu lagi bermain dengan perempuan itu. Setiap pulang dari praktek aku melihat dia di taman. Perempuan itu kadang menangis, kadang ngelamun dan kadang juga dia melepaskan beberapa balon untuk memberikan beberapa permintaan. Handphoneku berbunyi, tanda ada sms masuk “hai dokter jahat. Apa kabar ? udah lama ya ga ketemu. Kapan kita bisa lihat sunrise lagi ? aku udah sembuh ko. Aku juga udah bisa main biola lagi. Nanti minggu jam 18.00 bisa liat aku ga di acara pensi rumah sakit ? aku cuman ingin kamu duduk paling depan, ngasih tepuk tangan paling meriah di acara pensi nanti. Oiya aku dengar jam praktek kamu makin nambah ya ? jaga kesehatan ya, dokter mana boleh sakit!!” aku hanya tersenyum, dan meneteskan satu atau dua tetes air mata. ‘aku pasti akan datang, duduk paling depan dan kasih tepuk tangan paling meriah buat anak balonku’
               Hari minggu pun tiba. Aku sudah tidak sabar melihat perempuan itu memainkan biola. Waktu demi waktu terus berjalan. Sudah pukul 17.30 aku akan bergegas ke aula untuk melihat pujaan hatiku. “dokter, maaf di ruang 07 ada pasien yang sesak nafas” kata suster terburu-buru. Aku pun langsung menuju ruangan itu. Setelah selesai menangani pasien itu, aku melihat jam dan ternyata sudah pukul 21.00 . Aku melupakan janjiku. Aku pun bergegas menuju aula sambil membawa bunga matahari, dan disana sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Aku langsung berlari menuju kamar perempuan itu, tapi tidak ada siapa-siapa di kamar itu. Aku pun berlari menuju taman. Dengan napas terengah-engah aku menemukan dia sambil menangis. “ini. Maafin aku. Aku ga bisa datang ke acara pensi kamu. Tadi ada pasien yang sakit” kataku sambil mengulurkan bunga matahari “aku ga butuh bunga matahari ! aku cuman ingin kamu lihat aku tampil ! mungkin besok-besok kamu ga bakal bisa lihat aku main biola lagi !” kata perempuan itu sambil membuang bunga matahari dan berlari menuju kamarnya. Aku hanya bisa terdiam ‘lagi-lagi aku membuat kamu menangis dan membuatmu kecewa’
                Hari demi hari terlewati, setiap harinya aku selalu menaruh bunga matahari di depan pintu kamar perempuan itu. Dan beberapa hari kemudian aku memberanikan diri menjenguk dia. “hai anak balon. Ini aku bawa bunga matahari. Kenapa bunganya ga pernah diambil ?” tanyaku sambil menaruh bunga matahari itu di vas “aku ga bisa ngambil, tangan aku lumpuh. Kadang kakiku juga mati rasa” aku kaget mendengar itu “aku gagal main biola. Tangan aku udah mati rasa. Sekarang aku ga bisa liat bulan sama bintang lagi. Tapi nanti aku bakal lihat tempat yang lebih indah. Nanti aku bakal ke syurga” aku hanya menangis. Aku ga mau kehilangan seseorang yang aku sayang lagi. “aku boleh ngejaga kamu disini ? aku cuman ingin lihat kamu tersenyum. Lihat, semua badan kamu udah ga bisa di gerakin, tapi kamu tetep bawel ya. Kamu harus istirahat” “kemarin aku dengar, kata dokter sel-sel kulitnya makin tipis. Mungkin aku bisa ninggalin kamu kapan aja” perempuan itu hanya bisa menunduk dan menahan agar air matanya tidak menetes “kamu pasti sehat ko. Lihat bunga matahari aja masih bisa hidup, warna dia indah. Padahal udah beberapa hari kamu tinggalin dia di luar” kataku memberikan dia semangat “enak ya jadi bunga matahari, dia bisa lihat dan dia bisa hidup sama matahari. Tapi aku, aku harus benci sama matahari” kata dia sambil menangis “udah jangan nangis. Masa anak balon nangis. Nanti ga jadi lucu loh” dia pun mengusap air matanya “dokter juga jangan nangis lagi. Masa umur 25 tahun tapi cengeng” kata perempuan itu dengan senyum tulusnya.
             Pagi hari nya aku terbangun. Aku melihat perempuan itu memegang sebuah buku bertulis “aku, kamu dan kita”. Ketika aku mengambil buku itu di tangannya. Aku hanya bisa terdiam. Kaku. Dingin. Aku pun memegang tangannya dengan erat. Aku menangis sejadi-jadinya, tak tertahankan. Dokter dan suster berdatangan ke kamar perempuan itu. Aku pun di tarik keluar kamar. “Keysha ! Keysha ! bangun ! kamu janjikan mau liat sunrise lagi. Mau main biola di depan aku ! mana janji kamu ?! kenapa kamu bohong ! Keysha bangun !” kataku dengan nada teriak sambil menangis.

            Saat tersadar dari lamunan. Aku pun menangis. Di depan nisan Keysha. Aku membaca buku yang dia pegang sebelum dia pergi. Ternyata buku itu, buku kita. Perjalan di saat kita bersama. Sesaat aku buka halaman terakhir, perempuan itu bilang “makasih udah ada di hidup aku”. Dulu aku selalu merasa sendiri. Kini aku tidak pernah merasa sendiri lagi. Dan lanjutan dari kata-kata itu “Aku sudah tidak takut buka mata lagi. Walaupun aku udah ada di akhirat dan kamu di dunia. Hati kita cuman ada satu”. Dan kini dia pergi sebelum aku bilang “jangan pergi”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar