kadang tertawa karena orang lain lebih indah, tapi kadang juga tertawa karena orang yang kita sayang lebih indah lagi, dan kadang juga tertawa karena orang yang kita sayang lebih terasa sakit.
Minggu, 21 September 2014
Sabtu, 20 September 2014
Jumat, 19 September 2014
Dua Dunia Satu Hati
Pagi itu seperti biasa aku
membeli setangkai bunga matahari kesayangan perempuan itu. Sudah rutinitasku
dalam setahun ini untuk memberikan dia bunga yang nyata, hanya saja dia yang
tidak nyata. Aku menghentikan lamunanku karena aku sudah sampai di tempat yang
selalu aku kunjungi saat pagi hari, Tempat Pemakaman Umum Bunda Asri. Disinilah
perempuan itu tinggal. Langkah demi langkah, dan kini aku ada di depan sebuah
nisan dengan nama “Keysha Al Aina Mardhiah”.
Perempuan ini dulunya hanya
pasien di rumah sakit tempatku bekerja, tapi kini dia menjadi pujaan hatiku.
Terlintas kembalilah ingatan akan masa laluku dengannya. Setiap kali selesai
dengan jam praktek, aku selalu melihat dia di taman. Saat itu sudah malam
sekali. Aku melihat dia menulis di sebuah balon terbang berwarna biru. Aku
heran, umur dia mungkin sudah 17 tahun, tapi masih saja bermain dengan balon.
Aku pun mendekatinya dan bertanya “kamu lagi ngapain?” ko sendirian? Sudah
malam lagi” dia hanya fokus dengan catatannya di balon itu, dan dia menarikku,
mengajakku berlari entah kemana. “cepet tulis sesuatu di balon ini!” kata
perempuan itu, aku mengikuti apa yang dia suruh. “loh ko tulisannya gini? Ini
sih bukan permintaan ! terus jelek ! ga
rapih lagi ! dokter aku saja tulisannya rapih” kata perempuan itu dengan nada
yang judes. “emangnya kenapa ? kamu kan bilang aku cuman harus nulis sesuatu,
yaudah aku tulis ‘aku ketemu anak balon di malam yang kosong ini’” “anak balon
? siapa ?” “ya kamu lah, kita ga sempat kenalan, yaudah aku manggil kamu anak
balon” kataku sambil tertawa “iih ga cocok anak balon, yaudah aku manggil kamu
dokter jahat”kata perempuan itu sambil cemberut “yaudah sekarang kita terbangin
balon ini ya” pinta perempuan itu, aku hanya tersenyum dan mengikuti apa yang
dia mau. Itulah saat-saat aku bertemu dengannya. Tiap hari kita selalu bertemu,
melepaskan sebuah balon dengan banyak permintaan di tubuh balon itu. Aku selalu
melihat perempuan itu pasti menulis “aku ingin sembuh”. Di malam berikutnya aku
bertanya “kamu sakit apa ?” tanyaku yang langsung dengan initinya “aku ga sakit,
aku cuman alergi siang. Alergi matahari. Kata dokter aku sakit ‘lupus’” aku
hanya bisa terdiam saat dia bilang dia punya penyakit itu. “kata dokter aku
bersahabat sama bulan dan bintang. Apa aku sudah mirip vampire ?” tanya dia
dengan tertawa “hahaha, mungkin kamu anak vampire. Sama kaya anak balon. Terus
kenapa kamu selalu sendiri ? ga punya teman ya ?” “Orang tuaku di rumah, kesian
mereka harus nunggu aku setiap hari. Jadi aku mutusin deh buat sendirian di
rumah sakit dan aku anak tunggal. aku memang ga punya teman, aku juga suka
ngerasa sendirian, tapi sekarang aku
udah ga ngerasa sendirian lagi, kan ada dokter jahat” jawab dia dengan senyuman
yang tulus terlukis di bibirnya. “aku juga sama, ibuku sudah meninggal.
Meninggalnya di saat aku akan wisuda. Itu sangat menyakitkan. Kamu tau, aku
selalu takut sendirian” “tapikan dokter punya banyak teman, banyak pasien.
Kenapa masih ngerasa sendirian ?” tanya perempuan itu “kamu tau, di saat banyak
orang di sekelilingku, aku selalu merasa sendiri. Dan entahlah kapan aku udah
ga ngerasain sendirian lagi. Ah sudah malam, ayo aku antar kamu ke kamar kamu”
jawabku dengan panjang lebar. Dia hanya tersenyum bahagia. Dia berlari-lari
kecil di sepanjang lorong rumah sakit, dan akhirnya kita sampai di kamarnya
“ayo masuk, aku punya coklat panas. Di luar sangat dingin” aku pun masuk
ruangan itu dan melihat di sekitar ruangan “kamu bisa main biola ?” tanyaku
“aku bisa, aku belajar biola saat umurku 7 tahun. Sudah 11 tahun aku belajar
biola” jawab dia sambil menuangkan coklat panas di gelas yang lucu itu “jadi,
kamu udah 18 tahun ? ko kaya anak kecil ?” tanyaku heran “anak kecil ? semua
barang ini memang lucu, tapi aku punya sifat dewasa ko” jawab dia sambil
cemberut. Diam-diam aku menyukai sifat dia yang unik itu.
Beberapa minggu ini aku
tidak pernah melihat dia di taman itu. Aku pun menulis di balon, sama seperti
hal-hal yang aku dan perempuan itu inginkan “aku ingin liat dia senyum lagi.
Dan jika aku bisa melihat dia tersenyum, aku ingin bawa dia liat sunrise walaupun sebentar” dan aku pun menerbangkan
balon itu “loh dokter jahat ko disini ? waaahh balonnya terbang. Pak dokter
nulis apa” tanya dia dengan senyumnya. Aku hanya tersenyum, dan hati ini
rasanya senang sekali “kamu kemana aja ? ko ga keliatan ?” tanyaku dengan nada
khawatir “ooh itu, aku refreshing. Aku di bolehin pulang ke rumah” “memangnya
kamu ga boleh pulang sama dokter kamu ?” tanyaku lagi “boleh sih, tapi kata
dokter sakitku ini udah menahun. Jadinya aku harus disini” jawab perempuan itu
sambil menunjukan muka sedihnya “aah pasti sembuh ko. Oiya kamu mau ga aku ajak
liat sunrise ??” ajakku dengan penuh harap, supaya dia mau menerima ajakanku
“sunrise ? aku ingin liat. Tapi aku alergi sama matahari. Jadi ga bakal bisa
liat. Kata orang-orang sunset dan sunrise itu indah. Tapi sayang aku ga bisa
liat mereka. Aku cuman bisa liat bulan sama bintang. Tapi mereka juga indah ko.
Apalagi kalau ada lampu warna-warni dimana-dimana”jawab dia dengan penuh
semangat “aku bakal cobain segala cara supaya kamu bisa liat sunrise. Pokonya
percaya aja sama aku” jawabku meyakinkan. Dia mengangguk senang. Malam harinya,
waktu menunjukan pukul 00.00. aku dan perempuan itu pergi keluar dari rumah
sakit. Menggunakan motorku, kita pergi ke semua tempat yang belum pernah di
kunjungi perempuan itu. Satu demi satu tempat yang kita kunjungi, kini waktu
sudah menunjukan pukul 05.00 . “gimana jalan-jalannya ? ayo kita ke rumah
sakit. Udah jam 05.00 nih” “loh katanya mau ngajak liat sunrise?” kata
perempuan itu dengan nada kecewa “kita liat sunrisenya di rumah sakit. Sama
indahnya ko kaya di pantai atau pegunungan” kataku meyakinkan. Perempuan itu
mengikutiku pulang ke rumah sakit. Tapi aku takut, takut matahari datang duluan
sebelum kita sampai ke rumah sakit. “hei lihat, mataharinya datang”kata
permpuan itu dengan nada gembira. Aku kaget melihat matahari yang sudah datang.
Aku langsung mengencangkan motorku untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya di
rumah sakit, dia hanya tersenyum melihat sunrise. Aku tau kulit dia sensitif sama
matahari, aku memayungkan dia dengan jaket yang aku pakai. Saat di kamarnya,
dia menangis. Kulitnya melepuh. Aku pun segera memanggil dokter dan suster yang
ada. Seketika aku merasa bersalah kepada perempuan itu. Aku khawatir dia
kenapa-kenapa. Seseorang dari belakang menepuk pundakku “saya tau kamu hanya
dokter anak. Tapi mungkin kamu juga bisa berpikirkan bagaimana orang yang
terkena lupus terkena sinar matahari langsung ! seharusnya kamu berpikir lebih
jauh dari ini!”. Aku hanya terdiam dan merasa diriku sangat bodoh. Tidak bisa
menjaga seseorang yang aku sayang. Aku melihat dia di kaca. Semua badannya
melepuh dan memerah. Aku hanya bisa berpikir ‘apa aku harus menjauhi dia, agar
dia bisa sembuh total’
Beberapa akhir ini, aku sibuk.
Mengurus anak-anak yang terkena sakit flu. Aku tidak ada waktu lagi bermain
dengan perempuan itu. Setiap pulang dari praktek aku melihat dia di taman.
Perempuan itu kadang menangis, kadang ngelamun dan kadang juga dia melepaskan
beberapa balon untuk memberikan beberapa permintaan. Handphoneku berbunyi,
tanda ada sms masuk “hai dokter jahat. Apa kabar ? udah lama ya ga ketemu.
Kapan kita bisa lihat sunrise lagi ? aku udah sembuh ko. Aku juga udah bisa
main biola lagi. Nanti minggu jam 18.00 bisa liat aku ga di acara pensi rumah
sakit ? aku cuman ingin kamu duduk paling depan, ngasih tepuk tangan paling
meriah di acara pensi nanti. Oiya aku dengar jam praktek kamu makin nambah ya ?
jaga kesehatan ya, dokter mana boleh sakit!!” aku hanya tersenyum, dan meneteskan
satu atau dua tetes air mata. ‘aku pasti akan datang, duduk paling depan dan
kasih tepuk tangan paling meriah buat anak balonku’
Hari minggu pun tiba. Aku sudah
tidak sabar melihat perempuan itu memainkan biola. Waktu demi waktu terus
berjalan. Sudah pukul 17.30 aku akan bergegas ke aula untuk melihat pujaan
hatiku. “dokter, maaf di ruang 07 ada pasien yang sesak nafas” kata suster
terburu-buru. Aku pun langsung menuju ruangan itu. Setelah selesai menangani
pasien itu, aku melihat jam dan ternyata sudah pukul 21.00 . Aku melupakan
janjiku. Aku pun bergegas menuju aula sambil membawa bunga matahari, dan disana
sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Aku langsung berlari menuju kamar perempuan
itu, tapi tidak ada siapa-siapa di kamar itu. Aku pun berlari menuju taman.
Dengan napas terengah-engah aku menemukan dia sambil menangis. “ini. Maafin
aku. Aku ga bisa datang ke acara pensi kamu. Tadi ada pasien yang sakit” kataku
sambil mengulurkan bunga matahari “aku ga butuh bunga matahari ! aku cuman
ingin kamu lihat aku tampil ! mungkin besok-besok kamu ga bakal bisa lihat aku
main biola lagi !” kata perempuan itu sambil membuang bunga matahari dan
berlari menuju kamarnya. Aku hanya bisa terdiam ‘lagi-lagi aku membuat kamu
menangis dan membuatmu kecewa’
Hari demi hari terlewati,
setiap harinya aku selalu menaruh bunga matahari di depan pintu kamar perempuan
itu. Dan beberapa hari kemudian aku memberanikan diri menjenguk dia. “hai anak
balon. Ini aku bawa bunga matahari. Kenapa bunganya ga pernah diambil ?”
tanyaku sambil menaruh bunga matahari itu di vas “aku ga bisa ngambil, tangan
aku lumpuh. Kadang kakiku juga mati rasa” aku kaget mendengar itu “aku gagal
main biola. Tangan aku udah mati rasa. Sekarang aku ga bisa liat bulan sama
bintang lagi. Tapi nanti aku bakal lihat tempat yang lebih indah. Nanti aku
bakal ke syurga” aku hanya menangis. Aku ga mau kehilangan seseorang yang aku
sayang lagi. “aku boleh ngejaga kamu disini ? aku cuman ingin lihat kamu
tersenyum. Lihat, semua badan kamu udah ga bisa di gerakin, tapi kamu tetep
bawel ya. Kamu harus istirahat” “kemarin aku dengar, kata dokter sel-sel
kulitnya makin tipis. Mungkin aku bisa ninggalin kamu kapan aja” perempuan itu
hanya bisa menunduk dan menahan agar air matanya tidak menetes “kamu pasti
sehat ko. Lihat bunga matahari aja masih bisa hidup, warna dia indah. Padahal
udah beberapa hari kamu tinggalin dia di luar” kataku memberikan dia semangat
“enak ya jadi bunga matahari, dia bisa lihat dan dia bisa hidup sama matahari.
Tapi aku, aku harus benci sama matahari” kata dia sambil menangis “udah jangan
nangis. Masa anak balon nangis. Nanti ga jadi lucu loh” dia pun mengusap air
matanya “dokter juga jangan nangis lagi. Masa umur 25 tahun tapi cengeng” kata
perempuan itu dengan senyum tulusnya.
Pagi hari nya aku terbangun. Aku
melihat perempuan itu memegang sebuah buku bertulis “aku, kamu dan kita”. Ketika
aku mengambil buku itu di tangannya. Aku hanya bisa terdiam. Kaku. Dingin. Aku
pun memegang tangannya dengan erat. Aku menangis sejadi-jadinya, tak
tertahankan. Dokter dan suster berdatangan ke kamar perempuan itu. Aku pun di
tarik keluar kamar. “Keysha ! Keysha ! bangun ! kamu janjikan mau liat sunrise
lagi. Mau main biola di depan aku ! mana janji kamu ?! kenapa kamu bohong ! Keysha
bangun !” kataku dengan nada teriak sambil menangis.
Saat tersadar dari lamunan. Aku pun
menangis. Di depan nisan Keysha. Aku membaca buku yang dia pegang sebelum dia
pergi. Ternyata buku itu, buku kita. Perjalan di saat kita bersama. Sesaat aku
buka halaman terakhir, perempuan itu bilang “makasih udah ada di hidup aku”.
Dulu aku selalu merasa sendiri. Kini aku tidak pernah merasa sendiri lagi. Dan
lanjutan dari kata-kata itu “Aku sudah tidak takut buka mata lagi. Walaupun aku
udah ada di akhirat dan kamu di dunia. Hati kita cuman ada satu”. Dan kini dia
pergi sebelum aku bilang “jangan pergi”.
Langganan:
Postingan (Atom)